Tuesday, March 28, 2017

Wanita Masturbasi, Apa Hukumnya?


Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

USTADZ, mohon maaf, apa hukumnya masturbasi bagi wanita? Apakah sama halnya dengan laki-laki? Semoga berkenan menjawabnya. Wassalam.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

KR yang dirahmati Allah SWT.,

Kami rangkum dari berbagai sumber, masturbasi hukumnya sama saja bagi laki-laki dan wanita. Sebagaimana sudah sering kami bahas sebelumnya tentang masturbasi, maka hukumnya mengikat bukan saja bagi laki-laki namun juga wanita.

Masalah yang berkaitan dengan masturbasi atau dalam bahasa arabnya disebut istimna` banyak dibahas oleh para ulama.

Sebagian besar ulama mengharamkannya namun ada juga yang membolehkannya.

1. Yang mengharamkan: Umumnya para ulama yang mengharamkan masturbasi berpegang kepada firman Allah SWT : “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap isterinya atau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa mau selain yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas,” (Al-Mu’minun: 5-7).

Mereka memasukkan masturbasi sebagai perbuatan tidak menjaga kemaluan. Dalam kitab Subulus Salam juz 3 halaman 109 disebutkan hadits yang berkaitan dengan anjuran untuk menikah: Rasulullah SAW telah bersabda kepada kepada kami, “Wahai para pemuda, apabila siapa diantara kalian yangtelah memiliki baah (kemampuan) maka menikahlah, kerena menikah itu menjaga pandangan dan kemaluan. Bagi yang belum mampu maka puasalah, karena puasa itu sebagai pelindung,” (HR Muttafaqun `alaih).

Di dalam keterangannya dalam kitab Subulus Salam, Ash-Shan`ani menjelaskan bahwa dengan hadits itu sebagian ulama Malikiyah mengharamkan masturbasi dengan alasan bila masturbasi dihalalkan, seharusnya Rasulullah SAW memberi jalan keluarnya dengan masturbasi saja karena lebih sederhana dan mudah.

Tetapi Rasul malah menyuruh untuk puasa. Sedangkan Imam Asy-Syafi`i mengharamkan masturbasi dalam kitab Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro jilid 7 halaman 199 dalam Bab Masturbasi ketika menafsirkan ayat Al-Quran surat Al-Mukminun…”Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya.”



Begitu juga dalam kitab beliau sendiri Al-Umm juz 5 halaman 94 dalam bab Masturbasi. Imam Ibnu Taymiyah ketika ditanya tentang hukum masturbasi beliau mengatakan bahwa masturbasi itu hukum asalnya adalah haram dan pelakunya dihukum ta`zir, tetapi tidak seperti zina. Namun beliau juga mengatakan bahwa masturbasi dibolehkan oleh sebagian shahabat dan tabiin karena hal-hal darurrat seperti dikhawatirkan jatuh ke zina atau akan menimbulkan sakit tertentu. Tetapi tanpa alasan darurat, beliau (Ibnu Taymiyah) tidak melihat adanya keringanan untuk memboleh masturbasi.

2. Yang membolehkan: Diantara para ulama yang membolehkan istimna` antara lain Ibnu Abbas, Ibnu Hazm dan Hanafiyah dan sebagian Hanabilah. Ibnu Abbas mengatakan masturbasi lebih baik dari zina tetapi lebih baik lagi bila menikahi wanita meskipun budak. Ada seorang pemuda mengaku kepada Ibnu Abbas “Wahai Ibnu Abbas, saya seorang pemuda dan melihat wanita cantik. Aku mengurut-urut kemaluanku hingga keluar mani.” Ibnu Abbas berkata, “Itu lebih baik daripada zina, tetapi menikahi budak lebih baik dari itu (masturbasi).

Mazhab Zhahiri yang ditokohi oleh Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla juz 11 halaman 392 menuliskan bahwa Abu Muhammad berpendapat bahwa istimna` adalah mubah karena hakikatnya hanya seseorang memegang kemaluannya maka keluarlah maninya.

Sedangkan nash yang mengharamkannya secara langsung tidak ada. Sebagaimana dalam firman Allah: “Dan telah Kami rinci hal-hal yang Kami haramkan”.

Sedangkan masturbasi bukan termasuk hal-hal yang dirinci tentang keharamannya maka hukumnya halal. Pendapat mazhab ini memang mendasarkan pada zahir nash baik dari Al-Quran maupun Sunnah. Sedangkan para ulama Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah) dan sebagian Hanabilah (pengkikut mazhab Imam Ahmad)—sebagaimana tertera dalam Subulus Salam juz 3 halaman 109 dan juga dalam tafsir Al-Qurthubi juz 12 halaman 105—membolehkan masturbasi dan tidak menjadikan hadits ini tentang pemuda yang belum mampu menikah untuk puasa di atas sebagai dasar diharamkannya masturbasi.

Berbeda dengan ulama Syafi`iah dan Malikiyah. Mereka memandang bahwa masturbasi itu dibolehkan. Alasannya bahwa mani adalah barang kelebihan. Oleh karena itu boleh dikeluarkan, seperti memotong daging lebih. Namun sebagai cataan bahwa ada dua pendapat dari mazhab Hanabilah, sebagian mengharamkannya dan sebagian lagi membolehkannya.

Bila kita periksa kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ibni Hanbal juz 4 halaman 252 disebutkan bahwa masturbasi itu diharamkan. Ulama-ulama Hanafiah juga memberikan batas kebolehannya itu dalam dua perkara:

1. Karena takut berbuat zina.
2. Karena tidak mampu menikah.

Pendapat Imam Ahmad memungkinkan untuk kita ambil dalam keadaan gharizah itu memuncak dan dikhawatirkan akan jatuh ke dalam haram. Misalnya seorang suami yang sedang belajar atau bekerja di tempat lain yang jauh dari negerinya, sedang pengaruh-pengaruh di hadapannya terlalu kuat dan dia khawatir akan berbuat zina.

Tetapi yang lebih baik dari itu semua, ialah seperti apa yang diterangkan oleh Rasulullah SAW terhadap pemuda yang tidak mampu menikah, yaitu kiranya dia mau memperbanyak puasa, dimana puasa itu dapat mendidik beribadah, mengajar bersabar dan menguatkan kedekatan untuk bertaqwa dan keyakinan terhadap penyelidikan (muraqabah) Allah kepada setiap jiwa seorang mu’min. Wallahu A`lam bis-shawab. []

via Bin Usrah
Load disqus comments

0 comments